Based On True Story
Libur
kuliah tiba sudah waktu itu. Sebagai anak rantau, tentu saya pulang kampung.
Waktu libur cukup lama, sekitar dua bulan. Apalagi itu masih dalam bulan puasa.
Saya yang kuliah di Semarang dan akan pulang ke Sumbawa Besar, NTB saat itu
memilih perjalanan darat alias bis antarprovinsi.
Hari itu masih puasa,
saya juga puasa. Membawa 2 tas bawaan besar-besar sendirian. Untunglah salah
satunya bisa saya gendong sebagai ransel dipundak, setidaknya mengurangi beban
tangan menjinjing.
Bis pertama yang saya
naiki hanya sampai Surabaya mengantarkan. Terminal Bungurasih. Itulah tempat
pemberhentian bis untuk ganti bis yang lain menuju Sumbawa Besar.
Di atas bis tentu ada banyak penumpang.
Tapi tidak satupun saya kenal. Saya hanya takut kesasar atau terlihat seperti
orang bingung ditempat yang memang asing bagi saya.
Saya terus berdoa semoga saya tidak sendiri. dan benar!
Allah mengirimkan bala
bantuannya yang pertama.
Seorang ibu-ibu paruh
baya, mengenakan kerudung, kain jarek dan kebaya tradisional dengan tas yang
dikempit dilengannya. Ibu-ibu itu tersenyum ramah ke arah saya waktu turun bis.
Saya tentu senang ada yang melihat dan senyum.
Mengobrol singkat, akhirnya ibu itu
mengajak saya ikut dengannya. tentu si ibu tidak bisa membantu saya membawa
barang bawaan saya. Karena beliau sendiri berjalan kesusahan.
Saya sempurna seperti membuntuti ibu
itu. ibu itu senang hati sekali mengantarkan saya ke peron. Kami harus berpisah
karena ibu itu harus naik bis lain lagi untuk ke tempat tujuannya. Sampai
disitu saya bingung mau kemana, dimana bertanya juga saya takut.
Ada banyak orang-orang
yang menawarkan jasa ini itu tidak saya gubris. Terlebih saya takut kalau-kalau
mereka menangkap wajah kebingungan saya.
Ini akan bahaya saya bisa ditipu atau semacamnya.
Saya lalu membawa semua
barang-barang itu ke musholla. Alhamdulillah bagian atapnya keliahatan jadi
saya tanpa pikir panjang kesana.
Solat dzuhur.
Di serambi musholla, saya
berpikir terus bagaimana bisa menuju tempat bis antarprovinsi itu terparkir.
Saya tidak tahu persis posisinya. Saya tidak tahu bagaimana mencari bis yang
sudah saya pesan tiketnya itu.
Disaat itulah saya
pasrah sepasrah-pasrahnya. Seorang ibu dengan dua anak yang masih sangat
kecil-kecil sekali duduk disebelah saya. Berteduh juga habis solat. Saya
melihat anaknya yang masih bayi. Ibunya melihat saya, tersenyum, senang anaknya
dilihat.
Kami mengobrol. Saya
juga cerita tentang kebingungan saya panjang lebar. Berharap bantuan entah
bagaimana. Ibu itu langsung berdiri meninggalkan saya. Menuju tempat laki-laki
duduk.
Saya pikir ibu ini juga kesulitan dan
tidak bisa membantu saya. Jadi saya pasrah saja. Dalam keadaan seperti itu saya
terus bergumam. Ya Allah, jangan biarkan
saya sendirian. Kepala sampai sakit dan berat. Mata saya tidak mampu
menahan air mata berombak. Jatuh menetes.
Ibu itu tiba-tiba sudah ada di sebelah
saya lagi. saya kaget. Ibu itu bilang, nanti dia dan suaminya akan membantu
saya mencari bis itu berbaris dimana. Saya haru. saya pikir ibu itu tidak bisa
menolong. Ternyata dia langsung bicara dengan suaminya disana.
Si ibu langsung
mengajak saya. Menggandeng anaknya yang satu dan menggendong anaknya yang masih
kecil sekali dalam kain gendongan. Suaminya sigap membawakan barang-barang saya
dan menyisakan saya hanya ransel yang saya gendong.
Saya tidak enak hati. Pak, biar saya saja yang bawa ini. Bapak
itu menggeleng, menolak. Mempersilahkan saya jalan dengan istrinya. Saya ke ibu
itu, biar saya gendong si kakak ya bu.
Ibu itu juga menggeleng. Bilang kalau anaknya berat dan rewel. Meminta saya
santai saja, nanti suaminya yang akan mencarikan bisnya.
Deretan bis-bis
antarprovinsi itu mulai tampak. Meski dalam perjalanan kemari kami dikerubuti
para penawar jasa angkut barang itu entah berapa banyak.
Bapak dan ibu tadi
mengantarkan saya bahkan sampai atas bis. Sampai benar-benar menemukan mana seat saya. Beliau memastikan pada
petugas bisnya mana seat saya dan jam
berapa akan jalan. Saya bilang saya tidak apa-apa sendiri sekarang. Beliau
berdua menggeleng. Tetap menunggu saya sebisa yang mereka bisa.
Menunggui saya didalam.
Kami mengobrol. Saya masih haru tidak percaya. Melihat wajah mereka, seperti malaikat yang Allah kirimkan untuk
menolong saya.
Karena bis lama jalan,
sementara bis bapak dan ibu tadi bahkan sudah keluar barisan, menuju Madura,
mereka pamitan. Bilang maaf karena tidak
bisa menemani dan menunggui saya sampai bis benar-benar jalan. Saya menggeleng.
Bilang tidak apa. Bapak dan ibu sudah sangat baik mau menolong saya, orang yang
bahkan baru dikenal beberapa menit tadi.
Bapak, ibu dan dua
anak-anaknya itu setengah berlari mengejar bis mereka yang sudah hampir mau
jalan. Saya terus berdoa, minta maaf tidak bisa membalas dengan apa-apa.
Akhirnya bis mereka
berjalan. Saya menyandarkan punggung ke belakang. Mengalir sudah haru saya itu.
Allah yang mengirim mereka. Bala bantuan itu. diluar kemampuan saya. Diluar
pikiran dan dugaan saya.
Mereka biarlah hanya
bisa saya hadiahi dengan doa. Memohon Allah mengasihi, menyayangi, melindungi
dan memberkahi serta memudahkan langkah mereka selalu dimanapun.
Allah, pertolongan-Mu
memang amat dekat. bala bantuanmu. Malaikatmu yang tetap jadi rahasia-Mu,
rahasia alam ghaib yang tidak pernah bisa manusia tebak.
Tidak ada balasan
sebuah kebaikan selain kebaikan pula. Allah.