Sabtu, 17 Juni 2017

BALA BANTUAN ALLAH –


Based On True Story

            Libur kuliah tiba sudah waktu itu. Sebagai anak rantau, tentu saya pulang kampung. Waktu libur cukup lama, sekitar dua bulan. Apalagi itu masih dalam bulan puasa. Saya yang kuliah di Semarang dan akan pulang ke Sumbawa Besar, NTB saat itu memilih perjalanan darat alias bis antarprovinsi.
Hari itu masih puasa, saya juga puasa. Membawa 2 tas bawaan besar-besar sendirian. Untunglah salah satunya bisa saya gendong sebagai ransel dipundak, setidaknya mengurangi beban tangan menjinjing.
Bis pertama yang saya naiki hanya sampai Surabaya mengantarkan. Terminal Bungurasih. Itulah tempat pemberhentian bis untuk ganti bis yang lain menuju Sumbawa Besar.
Di atas bis tentu ada banyak penumpang. Tapi tidak satupun saya kenal. Saya hanya takut kesasar atau terlihat seperti orang bingung ditempat yang memang asing bagi saya.
Saya terus berdoa semoga saya tidak sendiri. dan benar!
Allah mengirimkan bala bantuannya yang pertama.
Seorang ibu-ibu paruh baya, mengenakan kerudung, kain jarek dan kebaya tradisional dengan tas yang dikempit dilengannya. Ibu-ibu itu tersenyum ramah ke arah saya waktu turun bis. Saya tentu senang ada yang melihat dan senyum.
Mengobrol singkat, akhirnya ibu itu mengajak saya ikut dengannya. tentu si ibu tidak bisa membantu saya membawa barang bawaan saya. Karena beliau sendiri berjalan kesusahan.
Saya sempurna seperti membuntuti ibu itu. ibu itu senang hati sekali mengantarkan saya ke peron. Kami harus berpisah karena ibu itu harus naik bis lain lagi untuk ke tempat tujuannya. Sampai disitu saya bingung mau kemana, dimana bertanya juga saya takut.
Ada banyak orang-orang yang menawarkan jasa ini itu tidak saya gubris. Terlebih saya takut kalau-kalau mereka menangkap wajah kebingungan saya.  Ini akan bahaya saya bisa ditipu atau semacamnya.
Saya lalu membawa semua barang-barang itu ke musholla. Alhamdulillah bagian atapnya keliahatan jadi saya tanpa pikir panjang kesana.
Solat dzuhur.
Di serambi musholla, saya berpikir terus bagaimana bisa menuju tempat bis antarprovinsi itu terparkir. Saya tidak tahu persis posisinya. Saya tidak tahu bagaimana mencari bis yang sudah saya pesan tiketnya itu.
Disaat itulah saya pasrah sepasrah-pasrahnya. Seorang ibu dengan dua anak yang masih sangat kecil-kecil sekali duduk disebelah saya. Berteduh juga habis solat. Saya melihat anaknya yang masih bayi. Ibunya melihat saya, tersenyum, senang anaknya dilihat.
Kami mengobrol. Saya juga cerita tentang kebingungan saya panjang lebar. Berharap bantuan entah bagaimana. Ibu itu langsung berdiri meninggalkan saya. Menuju tempat laki-laki duduk.
Saya pikir ibu ini juga kesulitan dan tidak bisa membantu saya. Jadi saya pasrah saja. Dalam keadaan seperti itu saya terus bergumam. Ya Allah, jangan biarkan saya sendirian. Kepala sampai sakit dan berat. Mata saya tidak mampu menahan air mata berombak. Jatuh menetes.
Ibu itu tiba-tiba sudah ada di sebelah saya lagi. saya kaget. Ibu itu bilang, nanti dia dan suaminya akan membantu saya mencari bis itu berbaris dimana. Saya haru. saya pikir ibu itu tidak bisa menolong. Ternyata dia langsung bicara dengan suaminya disana.
Si ibu langsung mengajak saya. Menggandeng anaknya yang satu dan menggendong anaknya yang masih kecil sekali dalam kain gendongan.  Suaminya sigap membawakan barang-barang saya dan menyisakan saya hanya ransel yang saya gendong.
Saya tidak enak hati. Pak, biar saya saja yang bawa ini. Bapak itu menggeleng, menolak. Mempersilahkan saya jalan dengan istrinya. Saya ke ibu itu, biar saya gendong si kakak ya bu. Ibu itu juga menggeleng. Bilang kalau anaknya berat dan rewel. Meminta saya santai saja, nanti suaminya yang akan mencarikan bisnya.
Deretan bis-bis antarprovinsi itu mulai tampak. Meski dalam perjalanan kemari kami dikerubuti para penawar jasa angkut barang itu entah berapa banyak.
Bapak dan ibu tadi mengantarkan saya bahkan sampai atas bis. Sampai benar-benar menemukan mana seat saya. Beliau memastikan pada petugas bisnya mana seat saya dan jam berapa akan jalan. Saya bilang saya tidak apa-apa sendiri sekarang. Beliau berdua menggeleng. Tetap menunggu saya sebisa yang mereka bisa.
Menunggui saya didalam. Kami mengobrol. Saya masih haru tidak percaya. Melihat wajah mereka, seperti malaikat yang Allah kirimkan untuk menolong saya.
Karena bis lama jalan, sementara bis bapak dan ibu tadi bahkan sudah keluar barisan, menuju Madura, mereka pamitan. Bilang maaf  karena tidak bisa menemani dan menunggui saya sampai bis benar-benar jalan. Saya menggeleng. Bilang tidak apa. Bapak dan ibu sudah sangat baik mau menolong saya, orang yang bahkan baru dikenal beberapa menit tadi.
Bapak, ibu dan dua anak-anaknya itu setengah berlari mengejar bis mereka yang sudah hampir mau jalan. Saya terus berdoa, minta maaf tidak bisa membalas dengan apa-apa.
Akhirnya bis mereka berjalan. Saya menyandarkan punggung ke belakang. Mengalir sudah haru saya itu. Allah yang mengirim mereka. Bala bantuan itu. diluar kemampuan saya. Diluar pikiran dan dugaan saya.
Mereka biarlah hanya bisa saya hadiahi dengan doa. Memohon Allah mengasihi, menyayangi, melindungi dan memberkahi serta memudahkan langkah mereka selalu dimanapun.
Allah, pertolongan-Mu memang amat dekat. bala bantuanmu. Malaikatmu yang tetap jadi rahasia-Mu, rahasia alam ghaib yang tidak pernah bisa manusia tebak.
Tidak ada balasan sebuah kebaikan selain kebaikan pula. Allah.


ORANG-ORANG YANG “MALAS” MAKAN


        Bagi kebanyakan orang, makan memang salah satu surga dunia. Di mana saat makan, semua kesenangan akan makanan terpenuhi. Mememnuhi cepat mulut dengan aneka makanan-makanan. Mengenyangkan perut.
            Tapi nyatanya, ada segelintir orang yang justru tidak suka makan!
            Bagi mereka, makan hanya menghabiskan waktu. Menyita waktu yang seharusnya bisa mereka pakai untuk aktivitas lain yang lebih menguntungkan. Kerja. Bagi orang-orang sibuk ini, makan tidak lagi menjadi dewa mata dan perut.
            Bahkan dalam sebuah bacaan, ada seseorang yang ingin sekali memakai selang infuse selama 24 jam agar tidak repot-repot makan. Karena baginya, hanya buang-buang waktu saja!
         Ada juga yang berkhayal, kenapa kita harus makan? Tidak bisakah perut ini seperti perut Doraemon yang punya kantong? Bisa dibuka tutup semaunya. Alhasil tidak perlu waktu lama makan, cukup masukkan langsung lewat kantong perut yang terbuka. Beres! Kenyang! Tidak menyita waktu! Yesss!
         Di lain cerita, ada yang hanya menjadikan makan sebagai formalitas. Makan sekadar duduk bersama di meja makan. Menatap piring berisi makanan di depannya. Mengaduk lantas sedikit sekali makan untuk lantas meninggalkannya cepat. Kerja lagi. Jadi, kalau ada yang tanya, sudah makan? Sudah! Tadi sudah makan! Makan itu benar-benar hanya formalitas. Tidak ada efek kenyang.
            Dari semua khayalan dan harapan itu, ternyata ada pihak lain yang justru bersedih. Mereka tidak terbangun dalam “tidur” nyenyaknya hingga tidak mungkin makan,. Tangan mereka memang terpasang selang infuse selama 24 jam, berbulan dan bahkan bertahun.
Ada yang tidak makan seperti biasa, hanya makan lewat saluran makan yang dibuat tim medis melewati hidung, menjalar di kerongkongan untuk bisa masuk ke lambungnya secara instan. Sementara yang duduk di depan piring makan tapi tidak makan, juga banyak.
            Tapi, mereka bukan melakukan karena ingin!
            Itu semua karena keadaan!
            Selang infuse yang terpasang 24 jam berbulan dan bertahun itu tidak lain karena penderitanya koma. Tidak juga bangun dari tidur nyenyaknya, Lantas bagaimana bisa makan? Yang makan dengan selang lewat hidung itu, mereka menderita korosi di lambung, tidak bisa menerima makanan dengan cara normal. Selalu saja mual bahkan lebih dari itu jika makan dengan cara bisa. Dan yang duduk di depan pirin makan tapi tidak makan, mereka tidak punya apa-apa untuk di makan.
            Ironis dan miris sekali bukan? Ada dua pihak bersebrangan! Itulah, bersyukur bersyukur bersyukur tanpa kufur! Makanlah sewajarnya selagi bisa. Makanlah, nikmati selagi bisa!
            Makanlah tanpa rakus. Sekadarnya saja, secukupnya. Karena, makan yang paling baik bagi seorang muslim adalah sekadar menegakkan tulang rusuk. Berhenti sebelum kenyang dan makan sebelum lapar. Cukup. Tidak berlebih. Agar bisa ibadah, bisa aktivitas seperti biasa dengan prima kembali.

Bukankah Allah lebih menyukai hamba-Nya yang perkasa dari pada yang lemah?