“Ganyang
kabir! Ganyang kabir! Ganyang kabir!”
Suara
itu mengiringi penyiksaan dan pembunuhan beberapa orang secara bergilir. Saya
melihat dengan mata sendiri. Saya mendengar dengan telinga sendiri.
Waktu
itu, saya diseret ke sebuah rumah, di sekitarnya ada beberapa tenda berdiri. Tangan
saya dilepas dari ikatan. Mata saya dibuka dari penutup. Semua bisa saya lihat
begitu jelas.
Suara
tembakan berbunyi berkali-kali. Saya tidak tahu siapa yang ditembak. Yang
jelas, ketika saya dimasukkan ke dalam tenda tadi, saya melihat beberapa orang
yang bersimbah darah dengan mata dan tangan tidak leluasa. Ditutup dan diikat.
Saya
juga sempat dengar, ada yang bilang, “Yani wes dipateni.”
Saya
tidak tahu siapa yang dimaksud. Karena saat itu, saya belum banyak tahu. Saya lihat
siapa penembaknya. Saya juga lihat orang yang ditembak, hanya saat itu tidak
kenal. Orang yang menembak itu, berkali-kali lalu-lalang di depan saya, sambil
membawa senjata begitu melepas butir-butir pelurunya.
Saya
merinding. Bergidik. Saat itu saya sangat kalut. Bingung. Orang-orang itu (para
pahlawan), tadinya juga sama dengan saya, diikat dan ditutup matanya. Jadi,
bukan tidak mungkin nanti akan tiba giliran saya yang diperlakukan begitu.
Saya
hanya berdoa terus sama Allah subhanahu wata’ala. Saya mohon perlindungan. Sudah
pasrah. Saya ini dari kampung. Saya sudah tidak punya ayah. Apalah yang mereka
dapatkan dari saya kalau mereka benar membunuh orang seperti saya ini. Batin
saya waktu itu. Tapi, tiba-tiba seorang teman dari si penembak tadi mendekat.
“Kamu
jangan takut. Mereka yang disiksa dan ditembaki itu, para jenderal kaya. Orang
kayak kita gini, beli kaos saja susah, sedang mereka, jam dindingnya saja dari
emas,” katanya pada saya.
Waktu
itu saya hanya mangut-mangut. Meski sejujurnya, saya tidak paham apa yang
dibicarakan orang tadi. Bagi saya, itu terlalu sulit untuk dicerna. Jadi,
karena takut, saya hanya mangut-mangut.
*****
Penuturan
dari Pak Sukitman, saksi sejarah, di salah satu TV swasta.
Dulu,
waktu peristiwa pilu itu terjadi, beliau adalah seorang polisi berpangkat
rendah yang juga ikut diculik dan dibawa ke daerah Lubang Buaya, markas latihan
para Pemuda Rakyat dan Gerwani alias sukwan dan sukwati PKI.
Waktu
itu, beliau adalah salah satu pengawal yang sedang berjaga-jaga di rumah
Jenderal Pandjaitan. Tiba-tiba gerombolan orang datang menderu-derukan senjata
dan membuat sepeda yang sedang dikendarainya jatuh, senjatanya diambil. Beliau didorong
masuk ke dalam bis/truk, meringkuk di bawah supir.
“Anehnya”,
meski ikut diculik oleh PKI, beliau tidak diapa-apakan. Tidak disiksa apalagi
sampai putus urat lehernya. Sebenarnya, hal ini tidak aneh. Karena apa?
Di
sanalah ada campur tangan Allah. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Allah
seolah membolak-balikkan hati pengkhianat itu dengan “membiarkan” Pak Sukitman
menyaksikan semua kekejian mereka dan kini menjadi saksi sejarah bangsa.
Menurut
Pak Sukitman, para PKI itu berteriak, “Ganyang kabir! Ganyang Kapitalis
Birokrasi!” Dan begitu selesai menunjukkan sifat kesetanannya dan membunuh tujuh
pahlawan tersebut, mereka saling bersalaman, “Sukses. Sukses. Kita sukses.”.
Jenazah-jenazah
tersebut diseret masuk ke dalam sumur tua, kepala duluan, lalu ditembaki
berkali-kali lagi. Apa belum cukup penyiksaan dan penembakan yang tadi?
Rupanya,
PKI itu peragu! Bisa jadi, mereka menembak lagi karena khawatir dari tujuh
jasad tersebut ada yang tiba-tiba bangun kembali. Ternyata, PKI itu penakut!
Dan
apa yang mereka katakan tentang para jenderal kaya itu adalah sebuah fitnah
keji atas nama kepentingan. Mereka memang kaya, tapi bukan kapitalis. Lagi-lagi,
tidak sekadar menyiksa, menganiaya dan membunuh raga, mereka juga melemparkan
fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pada membunuh?
Lalu,
apa yang terjadi pada Pak Sukitman?
Dalam
Film G30S/PKI kita lihat perannya begitu “ganjil”. Tangan diikat dan ditutup
matanya, kemudian dibuka mata dan tangannya untuk dibiarkan di pojokkan rumah. Seolah
beliau hanya dibiarkan menjadi “penonton”. Bahkan, menurut penuturan beliau,
sempat di satu hari beliau diajak seorang PKI untuk mengambil nasi dan
membagikannya di markas mereka. Seolah, Pak Sukitman itu benar-benar bukan
apa-apa.
Memang
betul saat itu beliau hanya polisi berpangkat rendah, tapi tidak “memperhitungkan”
keberadaannya bukankah sebuah kesalahan berhitung dalam strategi bagi tubuh
PKI? Rupanya, PKI tidak pandai berhitung. Lagi-lagi.
Terakhir,
hal yang membuat beliau terharu adalah, ketika Kolonel Sarwo Edhi menyebut
namanya di media, “Kalau ada yang berjasa atas penemuan jenazah enam jenderal
dan satu kapten tersebut, dia adalah seorang polisi tingkat dua, Sukitman.”
Tentu saja, atas ridho dan petunjuk Allah.
*Judul
artikel ini sengaja saya ambil dari judul buku yang Pak Sukitman tulis, “Agen
Polisi Tingkat Dua, Sukitman”.