Senin, 21 Agustus 2017

ADA APA DENGAN NOVEL?

ADA APA DENGAN NOVEL?
Nasi goreng spesial terhidang di atas meja. Asapnya masih kebul-kebul, mengeluarkan aroma bumbu dan pedasnya cabai. Terlihat di antara nasi yang merah kecoklatan itu, sosis-sosis yang dicincang. Lengkap dengan telur ceplok setengah matang. Makin plus-plus dengan kriuk kerupuk udang. Mmmm, rasanya lidah bergoyang-goyang.
STOP!!!

Maaf. Apa tulisan di atas membuat siapa yang membaca jadi terbayang-bayang nasi goreng? Jadi lapar atau bahkan ada rasa ingin makan segera?
Atau?
Apa pembaca hanya sekadar membacanya? Tanpa membayangkan bagaimana kenikmatan nasi goreng spesial itu?

Ya. Saya tidak sedang mau kasih resep untuk membuat nasi goreng di sini (silakan cari di tempat lain ya ). Ada hal yang lebih penting nan genting untuk saya bagikan di sini. Apa itu?
Tulisan deskripsi seperti itu, jelas menggiring pembaca untuk membayangkan apa yang ada dalam tulisan. Tulisan seperti itu jelas sedikit atau banyak bisa memengaruhi hasrat pembaca terhadap apa yang jelaskan.

Sama dengan menulis. Mau novel, cerpen atau kisah dalam bentuk lainnya. Kalau di dalam novel itu kita suguhkan tulisan-tulisan deskripsi yang amat detil tentang sesuatu, tentu pembaca juga ikut ke sana memikirkan.

Lalu, bagaimana dengan tulisan yang mendeskripsikan hal-hal yang tidak seharusnya diumbar secara umum? Hal-hal yang seharusnya lebih etis menjadi simpanan dalam diri masing-masing?
Tentu sama, Dear!

Tujuan penulis mendeskripsikan sesuatu itu, supaya pembaca bisa mendapat feelnya. Bisa membayangkan. Bisa merasakan menjadi tokoh atau bisa merasakan ada di tempat kejadian. Bisa tahu bagaimana kisah yang dialamai tokoh itu berlangsung.
Tapi, bagaimana kalau tulisan kita justru menggiring pembaca untuk “merasakan” dan “menikmati” hal yang tidak seharusnya jadi konsumsi publik? Hal-hal tidak lulus sensor? (Tidak perlu saya sebutkan apa itu. Sudah sangat jelas.)

“Hak penulis dong, mau nulis apa aja!”

Iya betul! Menulis itu memang “kebebasan” penulisnya. Tapi, coba renungkan lagi. Apa iya, rela tulisan hari ini memberatkan timbangan keburukan kita di hari akhir nanti? Karena mengajak orang lain berangan-angan tentang “sesuatu”?

“Ah, itu tergantung yang baca dong! Dia pikirannya memang negatif atau nggak? Jangan salahkan yang nulis!”

Betul tergantung yang baca!
Tapi apa kita lupa? Bahwa kitalah sebagai penulis cerita yang sudah menggiring mereka “membangkitkan” pikiran negatif itu lebih aktif? Kita yang memfasilitasi tumbuh kembangnya pikiran itu lewat tulisan-tulisan.

“Nggak semua pembaca pikirannya negatif seperti itu!”

Iya tidak semua. Tapi apa kita tahu? Siapa saja yang baca dan mana yang punya pikiran baik-baik atau tidak? Bisa jamin? Bisa pilih-pilih pembaca? Bisa pastikan?
Sayangnya, tidak, ‘kan?

“Oke. Adegan itu hanya pelengkap! Cerita intinya sih mulia. Banyak pengajaran tentang makna kehidupan, seperti pengorbanan, kepedulian!”

Hmmm, jangan campurkan dua hal berbeda nilai dalam satu wadah, atau cerita itu justru akan didominasi dari hal buruknya saja. Ingat! Jangan sampaikan kebaikan dengan cara yang salah! Yang baik ya disampaikan dengan cara baik. Masih banyak kisah di atas muka bumi ini, yang belum kita jamah untuk diangkat jadi sebuah cerita keren.

“Jangan munafik! Hal-hal kayak gitu sudah jadi rahasia umum! Semua orang sudah tahu meski nggak ditulis sekalipun!”

Kalau sudah jadi lumrah, apa lantas jadi benar?


Dear, izinkan saya sharing sedikit.
Bagi saya pribadi, tulisan adalah tanggung jawab. Tidak main-main! Tanggung jawab dunia akhirat! Ya, menulis itu tanggung jawab dunia akhirat! Kita tidak serta merta lepas tangan begitu saja, ketika tulisan selesai dan dibaca orang lain. Tidak!

Ada tanggung jawab secara moral di sana. Tulisan tidak berhenti sebatas jadi rangkaian huruf membentuk kata, atau rangkaian kata membentuk kalimat. Tidak sampai disitu! Tidak sesingkat itu! Ada efek berkepanjangan setelahnya.

Tahu, ‘kan? Tulisan itu, juga bisa jadi dua jalur jariah. Satu jalur pahala. Satunya lagi lawannya. Dua hal itu mengalir terus seperti transferan ketika tulisan tidak henti dibaca orang.

Coba bayangkan! Betapa mengerikannya arus transferan keburukan itu ke timbangan diri sendiri. Tidak akan putus entah sampai pembaca kesekian.
Kalau yang dibagikan hal-hal baik, tentu transferan yang mengalir ke diri kita adalah pahala. Pahala yang sama besarnya dengan yang mereka kerjakan, sesuai ajakan yang ada ditulisan kita. Tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.

Lalu, bagaimana kalau isi tulisannya tidak mengedukasi?
Membuat mereka jadi membayangkan hal buruk? Lalu “terinspirasi” dan mengajak orang lain juga ikut melakukan. Bisa dibayangkan! Transferan keburukan itu juga mengalir ke “tabungan” kita sebagai pencerita.

Sayang, loh. Kisah dalam novel yang sudah oke harus tercoreng dengan adanya adegan-adegan tidak pantas untuk dipaparkan di publik.
Khawatir nanti, seiring mengalirnya transferan royalti ke rekening kita, jangan-jangan dibarengi dengan mengalirnya transferan amal buruk ke “tabungan” akhirat.

Apa iya, mau novel/buku yang tercetak ribuan eksemplar nanti, masing-masing menyumbang amal buruk ke “tabungan” akhirat kita? Karena saat novel itu sudah beredar, kita sudah tidak punya kendali lagi untuk bisa menghentikannya.

Sebelum semua itu terjadi, sebelum kita menulis cerita, sebelum kita benar-benar jadi penulis suatu saat nanti, pikirkanlah lagi, Dear. Pikirkan baik-baik apa yang sudah dan akan kita tulis. Pastikan hanya ada hal-hal baik yang diajarkan di dalamnya, yang sarat hikmah dan kebaikan. Bukan semata hiburan yang “menyenangkan” dan “memuaskan”.

Terakhir. Semoga, sebelum naskah dikirim ke meja editor, sebelum naskah di posting ke mana-mana, kita sudah pastikan tidak ada ajakan-ajakan buruk yang tanpa sadar tergores dalam cerita.

Semoga tulisan dalam novel dan buku kita hanya mengalirkan dua transferan yang sama baik manfaatnya. Ke rekening pribadi sebagai rezeki di dunia, dan ke timbangan amal baik di akhirat nanti .
Silakan share jika peduli dengan (calon) penulis lainnya.

*Maaf, harusnya minggu ini saya posting artikel “kiat menghadapi naskah yang terseok-seok”. Tapi saya undur, karena merasa artikel ini lebih genting untuk diposting lebih dulu. Maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar