Rabu, 20 September 2017

Ada PKI dalam Novel? It's Ok!


Mas Musoh dan Musso adalah orang yang sama. Hanya, mereka beda dunia. Satu dalam novel, sedang satunya riil.
Siapa sebenarnya mereka?
Ya, Tere Liye memang tidak pernah sembarangan memilih nama, waktu, juga kisah.
Dalam novelnya, Mas Musoh adalah seorang pengkhianat. Pengkhianat ulama, pengkhianat bangsa.
Sedang Musso adalah salah satu tokoh pengkhianat yang sudah lama tinggal di Uni Soviet.
Mereka sama?
Ya!
Mas Musoh adalah penjelmaan dari sosok nyata Musso.
Dalam novel dikisahkan Mas Musoh adalah sosok iri dengki dan pendendam. Sampai akhirnya rasa sakit hati membawa dia menggelar pagelaran seni bertajuk "Matine Gusti Allah".
Ini senada dengan sosok Musso dalam sejarah yang berpaham komunis. Yang salah satu ajarannya adalah, manusia anti Tuhan.
Hal lain lagi, peristiwa terjadi di Surakarta. Tahun 1948 dan 1965. Kalau tidak salah ingat, dalam novelnya, Tere mengambil kejadian tahun 1965. Persis kejadian pengkhianatan besar-besaran di Surakarta. Dan bertepatan dengan usia tokoh dalam cerita novel, Sri Ningsih berusia 17 tahun.
Tentang apa yang mereka lakukan dalam pengkhianatan itu, mereka menyiksa, melenyapkan dengan keji.
Dalam novel, Kiyai dan keluarganya dimasukkan dalam mesin pemanas (kalau tidak salah). Sedang nyatanya, korban-korban pengkhianatan itu dimasukkan dalam sumur.
Bagi saya, ini brilliant. Perhitungan yang tepat dan tujuan yang pas. Membawa sejarah menjadi bacaan dalam novel, tanpa disadari dan tanpa berat diresapi.
Hasilnya apa? Tujuan memberitahu anak muda bangsa tentang sejarah lewat novel, berhasil. Kekejaman PKI dalam novel itu sama persis dengan aslinya.
Dalam dua buku sejarah SMP dan SMA juga sama. Kedua penulis menerangkan bahwa para pengkhianat bangsa tersebut memang berhasil ditumpas saat itu, tapi tetaplah waspada. Sisa-sisa pengkhianat itu masih terpendam sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar