Sabtu, 30 September 2017

AGEN POLISI TINGKAT DUA, SUKITMAN


“Ganyang kabir! Ganyang kabir! Ganyang kabir!”
Suara itu mengiringi penyiksaan dan pembunuhan beberapa orang secara bergilir. Saya melihat dengan mata sendiri. Saya mendengar dengan telinga sendiri.
Waktu itu, saya diseret ke sebuah rumah, di sekitarnya ada beberapa tenda berdiri. Tangan saya dilepas dari ikatan. Mata saya dibuka dari penutup. Semua bisa saya lihat begitu jelas.
Suara tembakan berbunyi berkali-kali. Saya tidak tahu siapa yang ditembak. Yang jelas, ketika saya dimasukkan ke dalam tenda tadi, saya melihat beberapa orang yang bersimbah darah dengan mata dan tangan tidak leluasa. Ditutup dan diikat.
Saya juga sempat dengar, ada yang bilang, “Yani wes dipateni.”
Saya tidak tahu siapa yang dimaksud. Karena saat itu, saya belum banyak tahu. Saya lihat siapa penembaknya. Saya juga lihat orang yang ditembak, hanya saat itu tidak kenal. Orang yang menembak itu, berkali-kali lalu-lalang di depan saya, sambil membawa senjata begitu melepas butir-butir pelurunya.
Saya merinding. Bergidik. Saat itu saya sangat kalut. Bingung. Orang-orang itu (para pahlawan), tadinya juga sama dengan saya, diikat dan ditutup matanya. Jadi, bukan tidak mungkin nanti akan tiba giliran saya yang diperlakukan begitu.
Saya hanya berdoa terus sama Allah subhanahu wata’ala. Saya mohon perlindungan. Sudah pasrah. Saya ini dari kampung. Saya sudah tidak punya ayah. Apalah yang mereka dapatkan dari saya kalau mereka benar membunuh orang seperti saya ini. Batin saya waktu itu. Tapi, tiba-tiba seorang teman dari si penembak tadi mendekat.
“Kamu jangan takut. Mereka yang disiksa dan ditembaki itu, para jenderal kaya. Orang kayak kita gini, beli kaos saja susah, sedang mereka, jam dindingnya saja dari emas,” katanya pada saya.
Waktu itu saya hanya mangut-mangut. Meski sejujurnya, saya tidak paham apa yang dibicarakan orang tadi. Bagi saya, itu terlalu sulit untuk dicerna. Jadi, karena takut, saya hanya mangut-mangut.

*****

Penuturan dari Pak Sukitman, saksi sejarah, di salah satu TV swasta.
Dulu, waktu peristiwa pilu itu terjadi, beliau adalah seorang polisi berpangkat rendah yang juga ikut diculik dan dibawa ke daerah Lubang Buaya, markas latihan para Pemuda Rakyat dan Gerwani alias sukwan dan sukwati PKI.
Waktu itu, beliau adalah salah satu pengawal yang sedang berjaga-jaga di rumah Jenderal Pandjaitan. Tiba-tiba gerombolan orang datang menderu-derukan senjata dan membuat sepeda yang sedang dikendarainya jatuh, senjatanya diambil. Beliau didorong masuk ke dalam bis/truk, meringkuk di bawah supir.
“Anehnya”, meski ikut diculik oleh PKI, beliau tidak diapa-apakan. Tidak disiksa apalagi sampai putus urat lehernya. Sebenarnya, hal ini tidak aneh. Karena apa?
Di sanalah ada campur tangan Allah. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Allah seolah membolak-balikkan hati pengkhianat itu dengan “membiarkan” Pak Sukitman menyaksikan semua kekejian mereka dan kini menjadi saksi sejarah bangsa.
Menurut Pak Sukitman, para PKI itu berteriak, “Ganyang kabir! Ganyang Kapitalis Birokrasi!” Dan begitu selesai menunjukkan sifat kesetanannya dan membunuh tujuh pahlawan tersebut, mereka saling bersalaman, “Sukses. Sukses. Kita sukses.”.
Jenazah-jenazah tersebut diseret masuk ke dalam sumur tua, kepala duluan, lalu ditembaki berkali-kali lagi. Apa belum cukup penyiksaan dan penembakan yang tadi?
Rupanya, PKI itu peragu! Bisa jadi, mereka menembak lagi karena khawatir dari tujuh jasad tersebut ada yang tiba-tiba bangun kembali. Ternyata, PKI itu penakut!
Dan apa yang mereka katakan tentang para jenderal kaya itu adalah sebuah fitnah keji atas nama kepentingan. Mereka memang kaya, tapi bukan kapitalis. Lagi-lagi, tidak sekadar menyiksa, menganiaya dan membunuh raga, mereka juga melemparkan fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pada membunuh?
Lalu, apa yang terjadi pada Pak Sukitman?
Dalam Film G30S/PKI kita lihat perannya begitu “ganjil”. Tangan diikat dan ditutup matanya, kemudian dibuka mata dan tangannya untuk dibiarkan di pojokkan rumah. Seolah beliau hanya dibiarkan menjadi “penonton”. Bahkan, menurut penuturan beliau, sempat di satu hari beliau diajak seorang PKI untuk mengambil nasi dan membagikannya di markas mereka. Seolah, Pak Sukitman itu benar-benar bukan apa-apa.
Memang betul saat itu beliau hanya polisi berpangkat rendah, tapi tidak “memperhitungkan” keberadaannya bukankah sebuah kesalahan berhitung dalam strategi bagi tubuh PKI? Rupanya, PKI tidak pandai berhitung. Lagi-lagi.
Terakhir, hal yang membuat beliau terharu adalah, ketika Kolonel Sarwo Edhi menyebut namanya di media, “Kalau ada yang berjasa atas penemuan jenazah enam jenderal dan satu kapten tersebut, dia adalah seorang polisi tingkat dua, Sukitman.” Tentu saja, atas ridho dan petunjuk Allah.

*Judul artikel ini sengaja saya ambil dari judul buku yang Pak Sukitman tulis, “Agen Polisi Tingkat Dua, Sukitman”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar